Selamat Datang di Weblog PPNS Ditjen PP & PL Depkes RI

Kamis, 15 Oktober 2009

Penghilangan Ayat Tindak Pidana

RUU KESEHATAN

Jakarta, Kompas - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan, hilangnya ayat rokok harus diusut secara tuntas, termasuk kemungkinan adanya unsur pidana di dalamnya.

”Kenapa satu ayat hilang? Kalau itu kesengajaan, ada pasal pidananya untuk menjerat. Demikian pula kalau itu kelalaian, ada pula pasal pidananya. Kan, tinggal beda hukumnya saja, tetapi tetap merupakan tindak pidana,” ujar Mahfud, Rabu (14/10) di Jakarta.

Menurut dia, persoalan hilangnya ayat tembakau tak akan berpengaruh secara hukum mengingat Undang-Undang Kesehatan tersebut belum ditandatangani Presiden dan belum dicantumkan dalam Lembar Negara. Dari sudut materi undang-undangnya, tambah Mahfud, hal itu bisa diperbaiki oleh DPR.

”Sekarang tinggal DPR dan Presiden bertemu kembali membicarakan keabsahan undang-undang. Bersepakat bahwa ini yang hilang di dalam rapat paripurna,” ujarnya.

Secara terpisah, anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan yang juga Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin, mengatakan, hilangnya ayat dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan harus diusut tuntas siapa pelakunya karena hal itu merupakan tindakan melawan hukum. ”Itu kriminal,” ujar Lukman.

Ia mengaku belum mengetahui apakah kesalahan itu sekadar kesalahan teknis atau tindakan yang direncanakan. Namun, apa pun alasannya, kasus tersebut harus benar-benar diusut.

”Kasus tersebut harus jadi pelajaran DPR periode sekarang. Ke depan, agar ’korupsi’ pasal atau ayat tak terulang, setiap rancangan undang-undang yang disahkan di Rapat Paripurna DPR harus telah mendapatkan paraf dari wakil-wakil setiap fraksi dan pemerintah,” paparnya.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengatakan, pimpinan DPR telah meminta klarifikasi Ketua Panitia Khusus RUU Kesehatan Ribka Tjiptaning soal kasus itu pada Selasa lalu.

Berdasarkan penjelasan Ribka, tidak ada unsur kesengajaan di kalangan staf, anggota panitia khusus, atau pemerintah dalam kasus tersebut. Pimpinan Dewan pun telah menerima penjelasan tersebut. ”Tidak ada masalah. Kita minta agar segera diambil langkah perbaikan sesuai mekanisme,” ucap Priyo.

Konsekuensi ayat

Ketua Bidang Advokasi Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Tulus Abadi mengatakan, pencantuman ayat tentang tembakau membawa konsekuensi luas, terutama soal pengendalian produk terkait tembakau. Saat ini pengendalian produk tembakau oleh pemerintah sangat lemah.

”Dengan dinyatakan tembakau termasuk zat adiktif, berarti sama saja statusnya dengan narkoba sehingga harus ada pengendalian. Selama ini produk terkait tembakau diiklankan dengan sangat bebas,” ujar Tulus, yang juga Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

Ketua Harian Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Laksmiati A Hanafiah mengatakan, dengan pencantuman ayat soal tembakau, berarti pemerintah harus tegas dalam mengendalikan produk terkait tembakau, mulai dari pengaturan iklan, kadar nikotin dan tar, ruangan khusus penggunaan produk tembakau, sampai batasan usia pengguna.

Hakim Sorimuda Pohan, mantan anggota Komisi IX DPR sekaligus anggota Southeast Asia Tobacco Control Alliance, mengatakan, dengan tercantumnya ayat tembakau, pemerintah wajib menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa tembakau merusak dan menyebabkan kecanduan.

Cukai rokok yang dihasilkan industri rokok tidak berarti jika dibandingkan dengan biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat. Kerugian akibat merokok di Indonesia mencapai Rp 180 triliun per tahun, sedangkan pemasukan dari cukai tembakau dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009 sebesar Rp 52 triliun-Rp 53 triliun.

Kematian akibat penyakit terkait kebiasaan merokok sebanyak 200.000-400.000 jiwa dalam setahun di Indonesia. ”Bukannya ingin mematikan industri rokok, bagaimanapun mereka akan tetap mempunyai pencandunya. Namun, para pemerhati kesehatan ingin menyelamatkan para pemula. Sekarang perokok di bawah usia 10 tahun meningkat 400 persen,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Sri Utari Setyawati mengatakan, dengan pencantuman ayat tersebut, Departemen Kesehatan harus membuat batasan terhadap konsumsi produk terkait tembakau dan pembatasan itu idealnya dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah.

”Masyarakat harus mengetahui produk yang dikonsumsi memberikan dampak buruk dalam jangka panjang lewat peringatan kesehatan,” kata Sri Utari di tengah lokakarya bagi media bertajuk ”Mengupas Intervensi dalam Upaya Meloloskan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Tembakau dan Tantangan dalam Advokasi Pengendalian Tembakau di Indonesia”, Rabu. (ANA/SUT/HAR/INE/eki)

Kompas
Berita Utama
Kamis, 15 Oktober 2009 | 04:31 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/15/0431072/penghilangan.ayat.tindak.pidana
Kirim komentar anda

Minggu, 11 Oktober 2009

PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN KETENTUAN PIDANA UU KESEHATAN 2009


PENYIDIKAN

Pasal 189

(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;

d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan;

e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;

g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan;

(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.




Pasal-pasal Pelanggaran berupa Tindak Pidana Kurungan dan Pidana Denda dalam UU Kesehatan 2009
Silahkan Klik

Senin, 14 September 2009

DPR Sahkan 4 Undang-undang

Senin, 14 September 2009 | 16:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - DPR mengesahkan empat rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang (UU) dan melaporkan hasil uji kepatutan dan kelayakan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui rapat paripurna yang diselenggarakan di gedung DPR Senayan Jakarta, Senin.

Keempat RUU yang disahkan tersebut meliputi RUU tentang Kesehatan, RUU tentang Narkotika, RUU tentang Penetapan Perppu Penyelenggaraan Ibadah Haji, serta RUU tentang Keimigrasian.

Rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR HR Agung Laksono relatif berjalan cepat setelah tertunda selama sekitar 90 menit.

Rapat paripurna yang semula dijadwalkan mulai pukul 09.00 baru dibuka Agung Laksono pada pukul 10.30 karena anggota DPR yang hadir belum memenuhi kuorum.

Saat itu jumlah anggota DPR yang hadir baru sekitar 180 orang (sekitar 33 persen) dari anggota DPR seluruhnya yakni 550 orang.

Ketika rapat paripurna dibuka Agung Laksono pada pukul 10.30, sebagian kursi di ruang rapat tersebut masih tampak kosong. Agung pun menskors lagi rapat tersebut selama 30 menit guna menunggu anggota DPR yang lain hadir.

Agung kemudian memulai rapat paripurna pada pukul 11.00 tanpa menghitung lagi anggota DPR apakah sudah kuorum atau belum.

Menurut Agung, rapat paripurna dilanjutkan dengan mendengarkan pendapat akhir dari fraksi-fraksi, tetapi pengambilan keputusan pengesahan RUU menjadi UU menunggu anggota DPR kuorum.

Pada kesempatan tersebut fraksi-fraksi menyoroti persoalan yang dinilai krusial yang tercantum dalam RUU yang akan segera disahkan.

Misalnya pada RUU tentang kesehatan sebagian besar fraksi menyoroti soal pasal 76 yang mengamanahkan, aborsi bisa dilakukan dengan persyaratan tertentu.

Meskipun seluruh fraksi akhirnya menyetujui, tetapi dua fraksi yakni fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) dan Fraksi Bintang Reformasi (F-BR) memberikan catatan khusus terhadap pasal aborsi ini.

Sumber : Kompas Online

Rabu, 09 September 2009

RUU PPLH : PPNS Diberi Kewenangan Menangkap dan Menahan

[9/9/09]

Kewenangan PPNS melakukan penangkapan dan penahanan tetap harus berkoordinasi dengan Kepolisian.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang berlimpah. Namun, di Indonesia marak juga terjadi pelanggaran terkait pengelolaan lingkungan hidup. Untuk mengantisipasi hal itu, DPR dan pemerintah merumuskan RUU perubahan terhadap UU No 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.

RUU yang kemudian diberi nama UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RUU PPLH) ini disetujui pengesahannya melalui Rapat Paripurna DPR, Selasa (8/9). Wakil Ketua Komisi VII Rapiudin Amaraung menjelaskan RUU ini awalnya terdiri dari 18 bab dan 86 pasal, namun kemudian berubah menjadi 17 bab dan 127 pasal.

Menurut Rapiudin, dalam RUU PPLH tersebut banyak substansi dari undang-undang lama yang diperkuat. Salah satunya adalah memberikan kewenangan lebih kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup. Selain itu, RUU PPLH juga memperluas cakupan sanksi pidana, tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga pejabat terkait dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp500 Juta.

UU No 23 Tahun 1997

RUU PPLH

Pasal 40

(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

Pasal 95

(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;

f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

h. menghentikan penyidikan;

i. memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio visual;

j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau

k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.

“Pejabat publik yang lalai dalam melakukan pengawasan sehingga terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan juga kena sanksi pidana dalam undang-undang ini,” tambahnya.

Seperti kebanyakan RUU, RUU PPLH juga mengamanatkan pemerintah untuk membuat banyak aturan pelaksanaan. Aturan pelaksanaan itu terdiri dari peraturan pemerintah sebanyak 19 buah dan peraturan menteri sebanyak 18 buah.

Juru bicara F-PDIP Ben Vincent Djeharu mengatakan RUU PPLH telah mencakup secara komprehensif aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. “Karena UU ini dikelola dengan azas tanggung jawab, azas berkelanjutan, azas berkeadilan. Selain itu pengelolaan lingkungan hidup dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, budaya yang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan kearifan lingkungan,” ujarnya.

RUU ini juga memberikan penggunaan sumber daya alam secara seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Selain itu, RUU ini juga memberlakukan upaya preventif dengan cara mendayagunakan dan memaksimalkan instrumen pengawasan dan perizinan. RUU ini, kata Vincent, juga menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta kegiatan pembangunan di sekitar lingkungan.

“Bahkan, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen dan konsisten terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi,” katanya.

Manajer Hukum dan Analisis Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Iki Dulagin menilai pemberian kewenangan PPNS melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup adalah sebuah kemajuan. “Pengaturan tersebut adalah sebuah kemajuan yang patut diapresiasi,” tukasnya.

Ia menjelaskan, pemberian kewenangan kepada PPNS ini merupakan jawaban atas kendala Kementerian Lingkungan Hidup yang selama ini tidak bisa menindak jika terjadi tindak pidana lingkungan hidup. Akibatnya, tidak sedikit pelaku perusak lingkungan hidup yang tidak bisa ditahan karena PPNS tidak memiliki kewenangan. “Untuk itu, kewenangan lebih PPNS merupakan sebuah pengakuan agar bisa menindak apabila ada pelaku tindak pidana yang merusak lingkungan hidup di Indonesia,” katanya.


Berita terkait :

Draf RUU Perpajakan: Penyidikan Hanya Dilakukan Oleh PPNS DJP

Belum Perlu Memperluas Wewenang PPNS

Kewenangan PPNS Tumpang Tindih dengan Polri

Sumber : Hukum OL

RUU Kesehatan : apa dan bagaimana Ketentuan Pidananya

Bab IV Penyakit Menular, Bab VII Kesehatan Reproduksi dan Bab XVII Ketentuan Pidana

Materi Lobby RUU Kesehatan JKP3[1]

Kami, meminta kepada anggota Panja RUU Kesehatan Komisi IX agar mempertimbangkan terhadap pasal-pasal sebagai berikut:

  1. DIM 242 Pasal 81 butir a. “Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangannya yang sah. .

Kata-kata ’dengan pasangannya yang sah’ diusulkan untuk ditiadakan. Karena rumusan ini diskriminatif. Implikasinya mereka yang diluar rumusan tersebut boleh mendapat paksaan dan/atau kekerasan atau tidak dilindungi dari paksaan dan/atau kekerasan. Formulasi tersebut mendiskriminasi hak atas kesehatan seseorang atas dasar status perkawinannya. Bertentangan dengan Pasal 28 H (1) UUD 1945 yang menegaskan ” Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

  1. Pasal 81 (DIM 242), pasal 83 (2) (DIM 245), pasal 84 (248), dan pasal 86 (251) dalam RUU yang dikaitkan dengan interpretasi atas norma-norma agama. Contoh Pasal 83 ayat 2 menyebutkan: “Setiap pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan ketentuan hukum yang berlaku”

Rumusan ’tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama di pasal 81, pasal 83, pasal 84, pasal 86 agar ditiadakan. Karena akan memberikan ketidakpastian hukum, dengan mengaitkan dengan penilaian atas standar nilai-nilai agama seseorang. Dan siapa yang berhak memutuskan apakah sesuatu bertentangan atau tidak. Bisa multi tafsir. Karena itu, kesehatan, diharapkan bisa ditempatkan sebagai isu kesehatan yang bersifat universal, tidak bisa digantungkan pada persetujuan agama.Negara bahkan dapat melakukan intervensi bila ada praktek/norma agama yang mengancam kesehatan individu. Seperti ajaran untuk bunuh diri dst. Kesehatan sebagai isu universal juga berarti setiap warga negara dapat mengaksesnya.

3. Dalam DIM 240 pasal 80 ayat 3 juga disebutkan, “kesehatan reproduksi …dilaksanakan melalui pendekatan upaya kesehatan ibu, kesehatan anak, Keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran seksual termasuk HIV AIDS serta kesehatan reproduksi lanjut usia.” Rumusan ini tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagai perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori yang juga berhak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi yang sama.

Faktanya, perempuan terancam kematian karena penyakit terkait organ reproduksinya. Salah satunya kanker leher rahim yang menempati peringkat tertinggi penyebab kematian perempuan Indonesia. Namun pencegahan tidak dapat dilakukan sejak dini akibat stigmatisasi/ perlakuan diskriminatif dari petugas kesehatan terhadap perempuan dewasa lajang yang ingin memeriksakan kesehatan reproduksi mereka seperti papsmear. Seolah-olah kesehatan hanya diperuntukkan bagi isteri atau seorang ibu dalam relasi perkawinan. Diluar itu, terdapat stigma yang menyudutkan perempuan yang pada dasarnya berhak atas layanan kesehatan yang sama.
  1. DIM 231, Pasal 78 (1), ‘Setiap orang yang mengidap atau menderita penyakit menular dilarang melakukan perbuatan yang dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain.” Kemudaian Pasal 115 (DIM 344) memberi sanksi terkait dengan larangan di pasal 78 (1) tersebut dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).” Sementara tidak dijelaskan penyakit apa dan perbuatan seperti apa, di dalam penjelasan RUU disebutkan: ‘sudah cukup jelas’.

Diusulkan agar pasal ini ditiadakan karena berpotensi mengkriminalkan orang sakit, padahal mereka tidak bermaksud untuk menularkan. Yang diinginkan tentunya kesembuhan dan pemerintah harus memberikan akses layanan kesehatan terhadap mereka bukan malah mengkriminalkan.

  1. DIM 346, Pasal 117, memberikan hukuman penjara hingga 15 tahun dan pidana denda 10 milyar bagi pelaku aborsi diluar ketentuan RUU, yang mengecualikan aborsi hanya untuk (1) kondisi kedaruratan medis dan (2) korban perkosaan yang mengalami trauma, dengan masing-masing mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih dibawah 6 (minggu) disertai rekomendasi dari lembaga agama dan penetapan panel agama/tokoh agama.

Rumusan sanksi diusulkan untuk direvisi karena terlalu berlebihan atau over kriminalisasi. Dampaknya tidak adil bagi perempuan yang terpaksa melakukan aborsi karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya meneruskan kehamilan yang belum terakomodir dalam RUU. Hukuman ini jauh lebih berat dari KUHP yang memberi ancaman maksimal dibawah 5 tahun. Dengan ancaman RUU diatas 5 tahun, maka perempuan dapat langsung ditahan dalam kondisi sakit. Sanksi denda yang tidak masuk akal juga memungkinkan terbukanya kesempatan korupsi mengingat kebutuhan aborsi yang besar di masyarakat akibat faktor kemiskinan, kegagalan KB, serta kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).

Ketentuan kriminalisasi aborsi tidak melihat aborsi sebagai masalah kesehatan. Sehingga tidak akan efektif mengurangi Angka Kematian Ibu di Indonesia, 420/100.000 kelahiran hidup[1], yang berarti setiap 1 jam terdapat 2 perempuan hamil yang meninggal akibat pendarahan sewaktu persalinan termasuk akibat praktek aborsi tidak aman yang menyumbang 10-50% kematian perempuan. Dilakukan kebanyakan oleh perempuan yang menikah (87%) antara lain karena gagal KB (Data: YKP). Adanya persyaratan rekomendasi lembaga agama dan penetapan panel ahli/tokoh agama akan menyulitkan bagi perempuan yang terncam kesehatannya bahkan nyawanya dan menambah trauma bagi perempuan korban perkosaan. Ketentuan ini akan memperlambat penanganan yang seharusnya dapat diberikan secara cepat untuk kepentingan kesehatan pasien.

Faktanya, 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang didampingi lembaga penanganan korban kekerasan mengalami dampak yang mengganggu kesehatan jiwanya hingga upaya percobaan bunuh diri. Hampir 50% korban perkosaan setiap tahun terkena PMS dan 20% mengalami kehamilan yang menimbulkan trauma dan berupaya melakukan pengguguran dengan cara-cara yang mengancam jiwanya (Data WCC Mitra Perempuan, 2006 dan LBH-APIK Semarang)

4. DIM 45, Pasal 10 (2) belum menjamin aspek kerahasiaan dari status kesehatan pasien, dengan membolehkan untuk dibuka kerahasiaan kondisi pasien atas dasar kepentingan masyarakat. Tanpa diberi penjelasan seperti apa batasannya dari kepentingan masyarakat, sehingga berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan-kepentinga yang justru merugikan kepentingan pasien itu sendiri. Tenaga kesehatan bahkan diberikan wewenang tanpa batasan dan penjelasan lebih jauh untuk memeriksa tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan sumber penyakit lain dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit. (Dim 231 Pasal 78 (1)). Ketentuan ini berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang, sekurangnya potensi stigmatisasi atas seseorang, kelompok/komunitas yang tempatnya dicurigai sebagai penyebar penyakit. Usulan, agar diberi batasan dan penjelasan untuk menghindarkan potensi yang merugikan hak-hak pasien dan penyalahgunaan yang dilegitimasi UU.

Kesimpulan

Agar pasal-pasal diatas dapat dipertimbangkan untuk ditiadakan atau direvisi sesuai dengan prinsip-prinsip ‘kesehatan sebagai isu universal, dan merupakan hak fumdamental bagi setiap warga negara. Sebagaimana sudah diatur dalam instrumen hukum nasional seperti UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU NO.7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), UU No.11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU No.12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi hak Sipil dan Politik.

KOPO, 4 Agustus 2009

Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3)

Contact: Ratna Batara Munti (Kord. JKP3) 0818758089


[1] Bandingkan dengan Malaysia 62, Filipina 230, Singapore 14/100.000 kelahiran hidup (UNFPA 2008. State of The World Population Report.
[1] Direvisi dari pernyataan sikap JKP3 atas RUU Kesehatan tanggal 10 Juli dan 2 Agustus 2009 (dimuat al. di Jakarta Post 25 Juli 2009, Koran Jakarta dan harian Kompas, 3 Agustus 2009 dan ) , untuk kepentingan lobby (4 Agustus 2009)
Sumber : Blog RUU Kesehatan

Selasa, 11 Agustus 2009

PARCEL & OMKA KADALUARSA

Makanan dan minuman kadaluarsa, laporkan ke BPOM
Warta - Medan
ALIAN NAFIAH SIREGAR
WASPADA ONLINE

MEDAN – Badan POM Medan meminta masyarakat agar melaporkan ke BPOM jika ada menemukan makanan dan minuman yang kadaluarsa.

“Jika ada ditemukan makanan yang tidak ada tanda kadaluarsanya, dan Dinkesnya segera hubungi BPOM, agar diperiksa. Dan jika terbukti bersalah, maka akan diberikan sanksi tegas sesuai UU yang berlaku,” ujar kepala BPOM Medan, Agus Prabowo, kepada Waspada Online, siang ini.

Agus mengakui, menjelang bulan Ramadhan, dan hari raya Idul Fitri, banyak masyarakat memberikan parcel kepada sanak saudaranya. Namun, para pembeli parcel tidak mengetahui secara pasti apakah barang tersebut masih terdaftar Dinkes, kadaluarsanya apa tidak.

Kalau dalam temuan itu, ada unsur kesengajaan, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan UU yang berlaku. Diantaranya, tambah Agus, UU RI No 23. tahun 1992 tentang kesehatan, dan dapat dikenakan saksi pidana selama 15 tahun, atau denda Rp300 juta, UU RI No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, ancaman 5 tahun atau didenda 2 miliar.

“Dan jika ada makanan tidak berlabel kadaluarsa, maka sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No 180/menkes/PER/1985, tentang makanana daluarsa dapat dihukum kurungan atau denda uang sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2 ayat (1) ordonansi bahan berbahaya staatblad No 377 tahun 1949,” ungkapnya.
(dat03/wol-mdn)

Jumat, 17 Juli 2009

Waspadai obat kadaluarsa beredar!


Warta - Nasional & Politik
WASPADA ONLINE

JAKARTA - Siapa sangka rumah mewah di kawasan Pluit, Jakarta Utara, ternyata gudang obat dan suplemen palsu. Di pabrik tersebut ditemukan banyak obat yang tanggal kadaluarsanya diganti.

Hal ini ditemukan saat Satuan Industri dan Perdagangan (Indag) Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya dan BPOM menggerebek rumah tersebut hari ini. Dari lokasi, petugas menemukan ribuan kardus obat-obatan palsu berbagai merk, di antaranya produk Sea Quil seperti Lecithin, Spirulina, Omega 3 Salmon, dan Vitamin C 1000.

Saksi ahli BPOM, Rudi Purwanto yang datang ke lokasi mengatakan pemilik melakukan pelanggaran berupa pemalsuan tempat produksi, tanggal kadaluarsa dan produksi ilegal.

"Contohnya Lecithin diproduksi di China tetapi dikemas dengan tulisan buatan USA. Tanggal kadaluarsa juga diubah dari semestinya tahun 2009 namun di kemasan menjadi tahun 2010," ujarnya.

Menurut Rudi dari produk Seaquill Lecithin yang dipalsukan ini setidaknya berjumlah 215 ribu butir. "Ini melanggar undang-undang konsumen dan kesehatan," jelasnya.

Menurut salah seorang pegawai bernama Ali (56), bisnis yang dijalankan pemilik bernama Rusdi ini telah belangsung lebih dari tujuh tahun. Adapun jumlah karyawan yang bekerja di tempat ini berjumlah 11 orang di mana enam orang di antaranya adalah perempuan. Namun warga sekitar hanya mengetahui bahwa rumah itu merupakan kantor CV Abadi 21 Makmur.

Sebelumnya Polda Metro Jaya telah menggerebek gudang dari pemilik yang sama di Tamansari, Jakarta Barat. Pemilik saat ini telah dibawa ke Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

Kasat Industri dan Perdagangan Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya AKBP Rudi Setiawan yang memimpin penggerebekan ini mengatakan pengungkapan bermula dari informasi masyarakat sekitar yang mencurigai adanya penyimpanan obat-obatan palsu di lokasi.

"Kami masih akan melakukan pengembangan ke lokasi lain yang berkaitan dengan pengungkapan ini," ujarnya saat dihubungi melalui telepon genggam.
Sumber : Waspada OL
(dat02/inilah)

Jumat, 26 Juni 2009

HUKUM KESEHATAN

I. Pendahuluan
Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan.
Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat.
Sebagai konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala kegiatan apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
Secara ringkas untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang maka harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguh-sungguh bagi penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan kesehatan, ditingkatkannya profesionalisme dan dilakukannya desentralisasi bidang kesehatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan perangkat hukum kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan hukum kesehatan, apa yang menjadi landasan hukum kesehatan, materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa mendatang.
Diharapkan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal terhadap keberadaan hukum kesehatan. Untuk itu dilakukan kajian normatif, kajian yang mengacu pada hukum sebagai norma dengan pembatasan pada masalah kesehatan secara umum melalui tradisi keilmuan hukum.
Dalam hubungan ini hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3 (tiga) kelompok sesuai dengan tiga lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Selanjutnya untuk memecahkan isu hukum, pertanyaan hukum yang timbul maka digunakan pendekatan konseptual, statuta, historis, dogmatik, dan komparatif. Namun adanya keterbatasan waktu maka kajian ini dibatasi hanya melihat peraturan perundang-undangan bidang kesehatan.

II. Batasan dan Lingkup Hukum Kesehatan
Van der Mijn di dalam makalahnya menyatakan bahwa, “…health law as the body of rules that relates directly to the care of health as well as the applications of general civil, criminal, and administrative law”.(1)
Lebih luas apa yang dikatakan Van der Mijn adalah pengertian yang diberikan Leenen bahwa hukum kesehatan adalah “…. het geheel van rechtsregels, dat rechtstreeks bettrekking heft op de zorg voor de gezondheid en de toepassing van overig burgelijk, administratief en strafrecht in dat verband. Dit geheel van rechtsregels omvat niet alleen wettelijk recht en internationale regelingen, maar ook internationale richtlijnen gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook wetenschap en literatuur bronnen van recht kunnen zijn”.(2)
Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Rumusan tersebut dapat berlaku secara universal di semua negara. Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu pada peraturan perundang-undangan saja tetapi mencakup kesepakatan/peraturan internasional, asas-asas yang berlaku secara internasional, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin.
Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid).
Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya mengidentifikasikan ada 30 (tiga puluh) jenis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kesehatan.(3)
Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut, materi muatan yang dikandung didalamnya pada asasnya adalah memberikan perlindungan kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah kesehatan menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan.(4)
Dalam perjalanannya diingatkan oleh Pinet bahwa untuk mewujudkan kesehatan untuk semua, diidentifikasikan faktor determinan yang mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, “... biological, behavioral, environmental, health system, socio economic, socio cultural, aging the population, science and technology, information and communication, gender, equity and social justice and human rights”.(5)

III. Landasan Hukum Kesehatan
Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).(6)
Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi, dan hak untuk memperoleh informasi.(7)
Demikian juga Leenen secara khusus, menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang merupakan dasar bagi hukum kesehatan.(8)

IV. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan
Sebenarnya dalam kajian ini akan disajikan menyangkut seluruh lingkup hukum kesehatan, namun keterbatasan waktu, maka penyajian dibatasi pada materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seringkali dikatakan sebagian masyarakat kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan. Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan berbagai ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi kesehatan. Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga) komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen.
Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan, norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan yang bersifat mengatur.
Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan mengandung 4 (empat) obyek, yaitu:
1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan;
2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan;
3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan;
4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan.
Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan dan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri.(10)
Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan adalah mencakup kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence dan justice.(11)
Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu komponen ketiga mengenai intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap komponen ideal yang ada dalam komponen pertama. Bila diperhatikan isi ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:
1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;
3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan.
4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.(12)
Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak, kiranya dapat diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat represif, otonomous atau responsive.(13)
Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu organisasi pemerintah dan organisasi / badan swasta.
Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Pada sektor swasta terdapat berbagai organisasi profesi, asosiasi dan sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang kesehatan.
Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut secara global menurut Schuyt bahwa tujuan yang ingin dicapat adalah (14):
1. Penyelenggaraan ketertiban sosial;
2. Pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan;
3. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual;
4. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik dalam masyarakat;
5. Kanalisasi perubahan sosial.

V. Hukum Kesehatan di Masa Mendatang
Hermien Hadiati Koeswadji mencatat bahwa dari apa yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada perlu terus ditingkatkan untuk (15):
1. Membudayakan perilaku hidup sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan secara wajar untuk seluruh masyarakat;
2. Mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
3. Mendorong kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan;
4. Memberikan jaminan kepada setiap penduduk untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan;
5. Mengendalikan biaya kesehatan;
6. Memelihara adanya hubungan yang baik antara masyarakat dengan penyedia pelayanan kesehatan;
7. Meningkatkan kerjasama antara upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat melalui suatu bentuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang secara efisien, efektif dan bermutu serta terjangkau oleh masyarakat.
Untuk itu dukungan hukum tetap dan terus diperlukan melalui berbagai kegiatan untuk menciptakan perangkat hukum baru, memperkuat terhadap tatanan hukum yang telah ada dan memperjelas lingkup terhadap tatanan hukum yang telah ada.
Beberapa hal yang perlu dicatat disini adalah yang berkaitan dengan:
1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional yang telah ada harus diperkuat dan harus merupakan organisasi yang independen sehingga dapat memberikan pertimbangan lebih akurat;
2. Perlu dibangun keberadaan Konsil untuk tenaga kesehatan dimana lembaga tersebut merupakan lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan berbagai standar yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga kesehatan dalam upaya untuk menilai kemampuan profesional yang dimiliki tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Bagi tenaga dokter dan dokter gigi peranan Konsil Kedokteran Indonesia dan organisasi profesi serta Departemen Kesehatan menjadi penting;
4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004;
5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai sarana kesehatan.

VI. Kesimpulan
Dari apa yang telah diuraikan diatas, hukum kesehatan merupakan cabang ilmu hukum yang baru. Untuk itu masih terbuka kesempatan yang luas bagi para ahli hukum melakukan berbagai pengembangan dengan tujuan tersedianya perlindungan yang menyeluruh baik untuk masyarakat penerima pelayanan kesehatan maupun tenaga dan sarana kesehatan pemberi pelayanan kesehatan. Kajian dapat dilakukan baik secara sektoral maupun dimensional melalui inter dan multidisiplin.


CATATAN KAKI
(1) Van der Mijn, 1984, ”The Development of Health Law in the Nederlands”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari ”Issues of Health Law”, Tim Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI bekerja sama dengan PERHUKI dan PB IDI, Jakarta, hal 2.
(2) H.J.J. Leenen, 1981, Gezondheidszorg en recht, een gezondheidsrechtelijke studie, Samson uitgeverij, alphen aan den rijn/Brussel, hal 22.
(3) D.C.Jayasuriya, 1997, Health Law, International and Regional Perspectives, Har-Anand Publication PUT Ltd, New Delhi India, hal 16-28.
(4) Ibid, hal 33.
(5) Genevieve Pinet, 1998, “Health Challenges of The 21st Century a Legislative Approach to Health Determinants”, Artikel dalam International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 134.
(6) Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran, Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 22.
(7) Roscam Abing, 1998, “Health, Human Rights and Health Law The Move Towards Internationalization With Special Emphasis on Europe” dalam journal International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 103 dan 107.
(8) HJJ. Leenen, 1981, Recht en Plicht in de Gezondheidszorg, Samson Uitgeverij, Alphen aan den Rijn/Brussel.
(9) Schuyt, 1983, Recht en Samenleving, van Gorcum, Assen, hal 11-12.
(10) Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
(11) Lihat Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 1994, Oxford University Press, New York, hal 38.
(12) Bruggink, 1993, Rechtsrefleeties, Grondbegrippen uit de Rechtstheorie, Kluwer, Deventer, hal 72.
(13) Philipie Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition, Toward, Responsive Law, Hasper Torch Books, New York.
(14) Schuyt, op.cit, hal 19.
(15) Hermin Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 17-18.

Oleh : Faiq Bahfen

Kamis, 25 Juni 2009

KEWENANGAN PPNS DEPKES DALAM UU 23/1992

Klik Gambar untuk memperbesar

PPNS mempunyai wewenang menyidik tindak pidana sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI

(Pasal 6 ayat (1) huruf b UU 8/1981)


 

blogger templates | Make Money Online