Selamat Datang di Weblog PPNS Ditjen PP & PL Depkes RI

Rabu, 09 September 2009

RUU PPLH : PPNS Diberi Kewenangan Menangkap dan Menahan

[9/9/09]

Kewenangan PPNS melakukan penangkapan dan penahanan tetap harus berkoordinasi dengan Kepolisian.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang berlimpah. Namun, di Indonesia marak juga terjadi pelanggaran terkait pengelolaan lingkungan hidup. Untuk mengantisipasi hal itu, DPR dan pemerintah merumuskan RUU perubahan terhadap UU No 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.

RUU yang kemudian diberi nama UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RUU PPLH) ini disetujui pengesahannya melalui Rapat Paripurna DPR, Selasa (8/9). Wakil Ketua Komisi VII Rapiudin Amaraung menjelaskan RUU ini awalnya terdiri dari 18 bab dan 86 pasal, namun kemudian berubah menjadi 17 bab dan 127 pasal.

Menurut Rapiudin, dalam RUU PPLH tersebut banyak substansi dari undang-undang lama yang diperkuat. Salah satunya adalah memberikan kewenangan lebih kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup. Selain itu, RUU PPLH juga memperluas cakupan sanksi pidana, tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga pejabat terkait dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp500 Juta.

UU No 23 Tahun 1997

RUU PPLH

Pasal 40

(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup;

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

Pasal 95

(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;

f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

h. menghentikan penyidikan;

i. memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio visual;

j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau

k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.

“Pejabat publik yang lalai dalam melakukan pengawasan sehingga terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan juga kena sanksi pidana dalam undang-undang ini,” tambahnya.

Seperti kebanyakan RUU, RUU PPLH juga mengamanatkan pemerintah untuk membuat banyak aturan pelaksanaan. Aturan pelaksanaan itu terdiri dari peraturan pemerintah sebanyak 19 buah dan peraturan menteri sebanyak 18 buah.

Juru bicara F-PDIP Ben Vincent Djeharu mengatakan RUU PPLH telah mencakup secara komprehensif aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. “Karena UU ini dikelola dengan azas tanggung jawab, azas berkelanjutan, azas berkeadilan. Selain itu pengelolaan lingkungan hidup dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, budaya yang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan kearifan lingkungan,” ujarnya.

RUU ini juga memberikan penggunaan sumber daya alam secara seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Selain itu, RUU ini juga memberlakukan upaya preventif dengan cara mendayagunakan dan memaksimalkan instrumen pengawasan dan perizinan. RUU ini, kata Vincent, juga menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta kegiatan pembangunan di sekitar lingkungan.

“Bahkan, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen dan konsisten terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi,” katanya.

Manajer Hukum dan Analisis Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Iki Dulagin menilai pemberian kewenangan PPNS melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup adalah sebuah kemajuan. “Pengaturan tersebut adalah sebuah kemajuan yang patut diapresiasi,” tukasnya.

Ia menjelaskan, pemberian kewenangan kepada PPNS ini merupakan jawaban atas kendala Kementerian Lingkungan Hidup yang selama ini tidak bisa menindak jika terjadi tindak pidana lingkungan hidup. Akibatnya, tidak sedikit pelaku perusak lingkungan hidup yang tidak bisa ditahan karena PPNS tidak memiliki kewenangan. “Untuk itu, kewenangan lebih PPNS merupakan sebuah pengakuan agar bisa menindak apabila ada pelaku tindak pidana yang merusak lingkungan hidup di Indonesia,” katanya.


Berita terkait :

Draf RUU Perpajakan: Penyidikan Hanya Dilakukan Oleh PPNS DJP

Belum Perlu Memperluas Wewenang PPNS

Kewenangan PPNS Tumpang Tindih dengan Polri

Sumber : Hukum OL

RUU Kesehatan : apa dan bagaimana Ketentuan Pidananya

Bab IV Penyakit Menular, Bab VII Kesehatan Reproduksi dan Bab XVII Ketentuan Pidana

Materi Lobby RUU Kesehatan JKP3[1]

Kami, meminta kepada anggota Panja RUU Kesehatan Komisi IX agar mempertimbangkan terhadap pasal-pasal sebagai berikut:

  1. DIM 242 Pasal 81 butir a. “Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangannya yang sah. .

Kata-kata ’dengan pasangannya yang sah’ diusulkan untuk ditiadakan. Karena rumusan ini diskriminatif. Implikasinya mereka yang diluar rumusan tersebut boleh mendapat paksaan dan/atau kekerasan atau tidak dilindungi dari paksaan dan/atau kekerasan. Formulasi tersebut mendiskriminasi hak atas kesehatan seseorang atas dasar status perkawinannya. Bertentangan dengan Pasal 28 H (1) UUD 1945 yang menegaskan ” Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

  1. Pasal 81 (DIM 242), pasal 83 (2) (DIM 245), pasal 84 (248), dan pasal 86 (251) dalam RUU yang dikaitkan dengan interpretasi atas norma-norma agama. Contoh Pasal 83 ayat 2 menyebutkan: “Setiap pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan ketentuan hukum yang berlaku”

Rumusan ’tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama di pasal 81, pasal 83, pasal 84, pasal 86 agar ditiadakan. Karena akan memberikan ketidakpastian hukum, dengan mengaitkan dengan penilaian atas standar nilai-nilai agama seseorang. Dan siapa yang berhak memutuskan apakah sesuatu bertentangan atau tidak. Bisa multi tafsir. Karena itu, kesehatan, diharapkan bisa ditempatkan sebagai isu kesehatan yang bersifat universal, tidak bisa digantungkan pada persetujuan agama.Negara bahkan dapat melakukan intervensi bila ada praktek/norma agama yang mengancam kesehatan individu. Seperti ajaran untuk bunuh diri dst. Kesehatan sebagai isu universal juga berarti setiap warga negara dapat mengaksesnya.

3. Dalam DIM 240 pasal 80 ayat 3 juga disebutkan, “kesehatan reproduksi …dilaksanakan melalui pendekatan upaya kesehatan ibu, kesehatan anak, Keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran seksual termasuk HIV AIDS serta kesehatan reproduksi lanjut usia.” Rumusan ini tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagai perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori yang juga berhak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi yang sama.

Faktanya, perempuan terancam kematian karena penyakit terkait organ reproduksinya. Salah satunya kanker leher rahim yang menempati peringkat tertinggi penyebab kematian perempuan Indonesia. Namun pencegahan tidak dapat dilakukan sejak dini akibat stigmatisasi/ perlakuan diskriminatif dari petugas kesehatan terhadap perempuan dewasa lajang yang ingin memeriksakan kesehatan reproduksi mereka seperti papsmear. Seolah-olah kesehatan hanya diperuntukkan bagi isteri atau seorang ibu dalam relasi perkawinan. Diluar itu, terdapat stigma yang menyudutkan perempuan yang pada dasarnya berhak atas layanan kesehatan yang sama.
  1. DIM 231, Pasal 78 (1), ‘Setiap orang yang mengidap atau menderita penyakit menular dilarang melakukan perbuatan yang dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain.” Kemudaian Pasal 115 (DIM 344) memberi sanksi terkait dengan larangan di pasal 78 (1) tersebut dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).” Sementara tidak dijelaskan penyakit apa dan perbuatan seperti apa, di dalam penjelasan RUU disebutkan: ‘sudah cukup jelas’.

Diusulkan agar pasal ini ditiadakan karena berpotensi mengkriminalkan orang sakit, padahal mereka tidak bermaksud untuk menularkan. Yang diinginkan tentunya kesembuhan dan pemerintah harus memberikan akses layanan kesehatan terhadap mereka bukan malah mengkriminalkan.

  1. DIM 346, Pasal 117, memberikan hukuman penjara hingga 15 tahun dan pidana denda 10 milyar bagi pelaku aborsi diluar ketentuan RUU, yang mengecualikan aborsi hanya untuk (1) kondisi kedaruratan medis dan (2) korban perkosaan yang mengalami trauma, dengan masing-masing mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih dibawah 6 (minggu) disertai rekomendasi dari lembaga agama dan penetapan panel agama/tokoh agama.

Rumusan sanksi diusulkan untuk direvisi karena terlalu berlebihan atau over kriminalisasi. Dampaknya tidak adil bagi perempuan yang terpaksa melakukan aborsi karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya meneruskan kehamilan yang belum terakomodir dalam RUU. Hukuman ini jauh lebih berat dari KUHP yang memberi ancaman maksimal dibawah 5 tahun. Dengan ancaman RUU diatas 5 tahun, maka perempuan dapat langsung ditahan dalam kondisi sakit. Sanksi denda yang tidak masuk akal juga memungkinkan terbukanya kesempatan korupsi mengingat kebutuhan aborsi yang besar di masyarakat akibat faktor kemiskinan, kegagalan KB, serta kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).

Ketentuan kriminalisasi aborsi tidak melihat aborsi sebagai masalah kesehatan. Sehingga tidak akan efektif mengurangi Angka Kematian Ibu di Indonesia, 420/100.000 kelahiran hidup[1], yang berarti setiap 1 jam terdapat 2 perempuan hamil yang meninggal akibat pendarahan sewaktu persalinan termasuk akibat praktek aborsi tidak aman yang menyumbang 10-50% kematian perempuan. Dilakukan kebanyakan oleh perempuan yang menikah (87%) antara lain karena gagal KB (Data: YKP). Adanya persyaratan rekomendasi lembaga agama dan penetapan panel ahli/tokoh agama akan menyulitkan bagi perempuan yang terncam kesehatannya bahkan nyawanya dan menambah trauma bagi perempuan korban perkosaan. Ketentuan ini akan memperlambat penanganan yang seharusnya dapat diberikan secara cepat untuk kepentingan kesehatan pasien.

Faktanya, 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang didampingi lembaga penanganan korban kekerasan mengalami dampak yang mengganggu kesehatan jiwanya hingga upaya percobaan bunuh diri. Hampir 50% korban perkosaan setiap tahun terkena PMS dan 20% mengalami kehamilan yang menimbulkan trauma dan berupaya melakukan pengguguran dengan cara-cara yang mengancam jiwanya (Data WCC Mitra Perempuan, 2006 dan LBH-APIK Semarang)

4. DIM 45, Pasal 10 (2) belum menjamin aspek kerahasiaan dari status kesehatan pasien, dengan membolehkan untuk dibuka kerahasiaan kondisi pasien atas dasar kepentingan masyarakat. Tanpa diberi penjelasan seperti apa batasannya dari kepentingan masyarakat, sehingga berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan-kepentinga yang justru merugikan kepentingan pasien itu sendiri. Tenaga kesehatan bahkan diberikan wewenang tanpa batasan dan penjelasan lebih jauh untuk memeriksa tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan sumber penyakit lain dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit. (Dim 231 Pasal 78 (1)). Ketentuan ini berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang, sekurangnya potensi stigmatisasi atas seseorang, kelompok/komunitas yang tempatnya dicurigai sebagai penyebar penyakit. Usulan, agar diberi batasan dan penjelasan untuk menghindarkan potensi yang merugikan hak-hak pasien dan penyalahgunaan yang dilegitimasi UU.

Kesimpulan

Agar pasal-pasal diatas dapat dipertimbangkan untuk ditiadakan atau direvisi sesuai dengan prinsip-prinsip ‘kesehatan sebagai isu universal, dan merupakan hak fumdamental bagi setiap warga negara. Sebagaimana sudah diatur dalam instrumen hukum nasional seperti UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU NO.7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), UU No.11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU No.12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi hak Sipil dan Politik.

KOPO, 4 Agustus 2009

Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3)

Contact: Ratna Batara Munti (Kord. JKP3) 0818758089


[1] Bandingkan dengan Malaysia 62, Filipina 230, Singapore 14/100.000 kelahiran hidup (UNFPA 2008. State of The World Population Report.
[1] Direvisi dari pernyataan sikap JKP3 atas RUU Kesehatan tanggal 10 Juli dan 2 Agustus 2009 (dimuat al. di Jakarta Post 25 Juli 2009, Koran Jakarta dan harian Kompas, 3 Agustus 2009 dan ) , untuk kepentingan lobby (4 Agustus 2009)
Sumber : Blog RUU Kesehatan
 

blogger templates | Make Money Online