Selamat Datang di Weblog PPNS Ditjen PP & PL Depkes RI

Kamis, 21 April 2011

Uji KUHAP: Alasan Penahanan Interpretasi Subjektif Aparat

Jakarta, Mkonline – Alasan aparat penegak hukum melakukan penahanan sesuai dengan norma Pasal 21 ayat (1) UU 8/1981 karena adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut cenderung diinterpretasi secara subjektif oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan penahanan.

“Apa bukti bahwa terdakwa akan melarikan diri, apa terbukti bahwa terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti kalau kejahatannya terjadi adalah 5 tahun yang lalu dan itu bersifat dokuman yang semua sudah disita oleh aparat penyidik?”

Demikian petikan paparan Prof. Dr. Mudzakir, SH, MH dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (19/4/2011), bertempat di ruang sidang Pleno MK. Mudzakir didaulat oleh Abu Bakar Ba'asyir sebagai Ahli untuk permohonan yang diajukannya. Amir Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) ini mengujikan konstitusionalitas materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (HAP). Menurut Ba'syir melalui kuasanya, sebagaimana terungkap dalam persidangan sebelumnya, menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 95 ayat (1) UU 8/1981 tentang HAP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28J UUD 1945.

Sidang yang digelar kali keempat untuk perkara 16/PUU-IX/2011 ini mengagendakan mendengar keterangan Ahli yang diajukan oleh Abu Bakar Ba'asyir. Lebih lanjut Mudzakir dalam presentasinya memaparkan kewenangan melakukan penahanan. Hak setiap orang, paparnya, tidak boleh dirampas oleh siapapun. Perampasan hak berupa penahanan hanya boleh diterapkan apabila dibenarkan oleh konstitusi. “Penggunaan wewenang menahan dari undang-undang dilakukan berdasarkan putusan pengadilan atau persetujuan pengadilan,” jelasnya. Begitu pula, penggunaan wewenang untuk penyitaan barang bukti, juga dilakukan atas izin pengadilan.

Sementara itu, Bernard L. Tanya yang juga didaulat oleh Ba’asyir sebagai Ahli, dalam paparanya antara lain menerangkan masalah lima hal. Pertama, mengenai diskriminasi penahanan. “Ada yang ditahan dan ada yang tidak ditahan tanpa rasionalitas yang dapat diterima secara inter-subjektif,” katanya.

Kedua, lanjutnya, aparat menentukan sendiri, ditahan tidaknya seseorang. Ketiga, tidak ada rujukan objektif mengapa seseorang ditahan dan yang lain tidak ditahan. Keempat, muncul alasan-alasan ekstra yuridis seperti tidak kooperatif, sering jumpa pers, dan sebagainya.

Dalam pandangan Ahli Filsafat dan Teori Hukum Universitas Bayangkara ini, frasa Pasal 21 ayat (1) UU 8/1981 sangat elastis dan potensial menjadi ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi kepentingan pemangku kekuasaan itu. Selain itu, potensial mencederai hak konstitusional seseorang, dalam hal ini tersangka ataupun terdakwa. “Kewenangan yang diberikan kepada aparat untuk menentukan sendiri makna keadaaan yang menimbulkan kekhawatiran potensial mencederai hak tersangka dan terdakwa, jelasnya.

“Hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28J UUD 1945 yang juga dimiliki seorang tersangka ataupun terdakwa akan mudah terlangkahi jika tidak ada ukuran yang jelas dan intersubjektif dalam menilai keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersebut,” timpal Bernard.
Norma hukum yang sejati adalah norma objektif yang jelas alat ukurnya, tidak bersifat emotif berdasarkan rasa. “Frasa menimbulkan kekhawatiran adalah soal emotif dan tidak ada alat ukur yang jelas,” Imbuhnya.

Penahanan Limitatif
Selain menghadirkan Mudzakir dan Bernard, Ba'asyir juga mendapuk Dr. M. Sholehuddin SH, MH sebagai Ahli. Ahli Sistim Peradilan Pidana Universitas Bhayangkara ini dalam paparannya antara lain menyatakan KUHAP tidak mengenal istilah penahanan subjektif atau penahanan objektif. Masalah penahanan dalam KUHAP bersifat limitatif, ditentukan batas-batasnya.

Limitatif yang dimaksudkan Sholehuddin dikarenakan, Pertama, penahanan itu hanya diberikan kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim. Bentuk kewenangan yang diberikan oleh UU bersifat diskresioner. “Ini dibuktikan dengan frasa di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, 'penahanan hanya dapat' kata 'dapat' di sini menunjukkan pemberian kewenangan secara diskresioner di dalam soal penahanan,” terangnya

Kedua, penahanan yang dapat dilakukan itu hanya terbatas pada tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana secara limitatif, lima tahun lebih dan/atau melakukan tindak pidana sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan UU. Ketiga, penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana yang didasarkan pada bukti yang cukup. Terakhir, keempat, kewenangan diskresi untuk melakukan penahanan tersebut, terbatas pada tersangka yang kemungkinan akan melakukan perbuatan-perbuatan melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. “Jadi, dia limitatif,” imbuhnya. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber : MK Online
print this page

1 komentar:

Masrip Sarumpaet mengatakan...

Silah kan komentar disini aja

 

blogger templates | Make Money Online