Selamat Datang di Weblog PPNS Ditjen PP & PL Depkes RI

Kamis, 15 Oktober 2009

Penghilangan Ayat Tindak Pidana

RUU KESEHATAN

Jakarta, Kompas - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan, hilangnya ayat rokok harus diusut secara tuntas, termasuk kemungkinan adanya unsur pidana di dalamnya.

”Kenapa satu ayat hilang? Kalau itu kesengajaan, ada pasal pidananya untuk menjerat. Demikian pula kalau itu kelalaian, ada pula pasal pidananya. Kan, tinggal beda hukumnya saja, tetapi tetap merupakan tindak pidana,” ujar Mahfud, Rabu (14/10) di Jakarta.

Menurut dia, persoalan hilangnya ayat tembakau tak akan berpengaruh secara hukum mengingat Undang-Undang Kesehatan tersebut belum ditandatangani Presiden dan belum dicantumkan dalam Lembar Negara. Dari sudut materi undang-undangnya, tambah Mahfud, hal itu bisa diperbaiki oleh DPR.

”Sekarang tinggal DPR dan Presiden bertemu kembali membicarakan keabsahan undang-undang. Bersepakat bahwa ini yang hilang di dalam rapat paripurna,” ujarnya.

Secara terpisah, anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan yang juga Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin, mengatakan, hilangnya ayat dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan harus diusut tuntas siapa pelakunya karena hal itu merupakan tindakan melawan hukum. ”Itu kriminal,” ujar Lukman.

Ia mengaku belum mengetahui apakah kesalahan itu sekadar kesalahan teknis atau tindakan yang direncanakan. Namun, apa pun alasannya, kasus tersebut harus benar-benar diusut.

”Kasus tersebut harus jadi pelajaran DPR periode sekarang. Ke depan, agar ’korupsi’ pasal atau ayat tak terulang, setiap rancangan undang-undang yang disahkan di Rapat Paripurna DPR harus telah mendapatkan paraf dari wakil-wakil setiap fraksi dan pemerintah,” paparnya.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengatakan, pimpinan DPR telah meminta klarifikasi Ketua Panitia Khusus RUU Kesehatan Ribka Tjiptaning soal kasus itu pada Selasa lalu.

Berdasarkan penjelasan Ribka, tidak ada unsur kesengajaan di kalangan staf, anggota panitia khusus, atau pemerintah dalam kasus tersebut. Pimpinan Dewan pun telah menerima penjelasan tersebut. ”Tidak ada masalah. Kita minta agar segera diambil langkah perbaikan sesuai mekanisme,” ucap Priyo.

Konsekuensi ayat

Ketua Bidang Advokasi Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Tulus Abadi mengatakan, pencantuman ayat tentang tembakau membawa konsekuensi luas, terutama soal pengendalian produk terkait tembakau. Saat ini pengendalian produk tembakau oleh pemerintah sangat lemah.

”Dengan dinyatakan tembakau termasuk zat adiktif, berarti sama saja statusnya dengan narkoba sehingga harus ada pengendalian. Selama ini produk terkait tembakau diiklankan dengan sangat bebas,” ujar Tulus, yang juga Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

Ketua Harian Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Laksmiati A Hanafiah mengatakan, dengan pencantuman ayat soal tembakau, berarti pemerintah harus tegas dalam mengendalikan produk terkait tembakau, mulai dari pengaturan iklan, kadar nikotin dan tar, ruangan khusus penggunaan produk tembakau, sampai batasan usia pengguna.

Hakim Sorimuda Pohan, mantan anggota Komisi IX DPR sekaligus anggota Southeast Asia Tobacco Control Alliance, mengatakan, dengan tercantumnya ayat tembakau, pemerintah wajib menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa tembakau merusak dan menyebabkan kecanduan.

Cukai rokok yang dihasilkan industri rokok tidak berarti jika dibandingkan dengan biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat. Kerugian akibat merokok di Indonesia mencapai Rp 180 triliun per tahun, sedangkan pemasukan dari cukai tembakau dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009 sebesar Rp 52 triliun-Rp 53 triliun.

Kematian akibat penyakit terkait kebiasaan merokok sebanyak 200.000-400.000 jiwa dalam setahun di Indonesia. ”Bukannya ingin mematikan industri rokok, bagaimanapun mereka akan tetap mempunyai pencandunya. Namun, para pemerhati kesehatan ingin menyelamatkan para pemula. Sekarang perokok di bawah usia 10 tahun meningkat 400 persen,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Sri Utari Setyawati mengatakan, dengan pencantuman ayat tersebut, Departemen Kesehatan harus membuat batasan terhadap konsumsi produk terkait tembakau dan pembatasan itu idealnya dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah.

”Masyarakat harus mengetahui produk yang dikonsumsi memberikan dampak buruk dalam jangka panjang lewat peringatan kesehatan,” kata Sri Utari di tengah lokakarya bagi media bertajuk ”Mengupas Intervensi dalam Upaya Meloloskan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Tembakau dan Tantangan dalam Advokasi Pengendalian Tembakau di Indonesia”, Rabu. (ANA/SUT/HAR/INE/eki)

Kompas
Berita Utama
Kamis, 15 Oktober 2009 | 04:31 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/15/0431072/penghilangan.ayat.tindak.pidana
Kirim komentar anda

Tidak ada komentar:

 

blogger templates | Make Money Online